Richard berdiri diam pada
tempatnya. Bingung. Antara rasa ingin tahu dan takut, ia melihat lelaki yang
masih muda tapi berkumis yang ada di bawah daun cendawan.
“Aku Weltko,” sang pria
kecil berkata.
“Aku Richard.”
“Richard, hujan di sini
lebat. Kamu tidak akan pernah sampai ke sekolah.”
“Tapi aku harus masuk
sekolah. Hari ini ulangan.”
“Jika kamu mengikuti
jalanku. Kamu dapat sampai ke sekolah tanpa basah.”
“Jalan kamu?’
“Ya....mari ikut.
Laki-laki kecil itu berlari
di pematang menuju hutan di belakang gubuk. Richard mengikutinya. Hanya
beberapa langkah saat memasuki hutan, hujan berhenti. Tidak ada rintik air.
Tidak ada kilat. Tidak ada petir. Hanya sinar matahari yang menembus pepohonan
lebat.
Weltko berlari menuruni
lembah. Richard mengikutinya. Dari belakang terdengar suara riuh orang tertawa
gembira. Richard berbalik. Ratusan orang kerdil serupa Weltko berlari di
belakangnya sambil tertawa. Rasa takut mulai menjangkitinya. Weltko yang semula
dekat kini makin jauh di depan. Jalanan semakin menurun dan terjal.
Sebuah kota kecil nan megah
nampak bersinar dibasuh cahaya. Dari dalam sana terdengar sorak sorak orang
bernyanyi dan menari. Semakin dekat dengan kota, Richard mendengar suara yang
mengelukan namanya. Richard! Richard!Richard!...Huraaaaaaaa..!!!!Huraaa....”
Sekarang Richard tahu,
inilah negeri botol manci yang diceritakan orang desa. Negeri dimana tidak ada
hujan dan angin badai. Negeri dimana hanya ada kesegaran, kebugaran dan hidup
abadi. Botol Manci hidup abadi. Usia mereka dapat mencapai paling kurang tiga
ratus tahun. Apabila ada anggota masyarakat mereka yang dihukum dalam kematian
di lautan Elulaku, mereka harus mencari pengganti masyarakat yang hilang dari
antara manusia.
Tidak jelas mengapa seorang
manusia dipilih sebagai pengganti warga
mereka, tetapi semua yang datang ke negeri mereka tidak pernah kembali. Tidak
ada yang mampu menembus mantra mahluk
bertubuh mungil ini. Tidak ada juga mahluk, manusia dan peri yang mampu
memasuki atau keluar dari negeri mereka.
Richard berhenti di pintu
kota botol manci. Sebuah sambutan dari para tetua suku terdengar bergerak maju
menemuinya. Nyanyian paling merdu yang pernah di dengarnya. Nyanyian yang
mendayu dan melengking tinggi. Syair lagu berisi bahasa yang belum pernah
didengarnya.
Rasa rindu pada lagu nan
indah kini bertukar menjadi kengerian. Kengerian ketika kakinya terasa memendek
dan tubuhnya susut perlahan. Richard kehilangan tinggi badannya. Tubuhnya
menyusut. Terus mengecil. Hingga akhirnya ia seukuran dengan para botol manci.
Ketika tubuhnya benar-benar
telah mengecil, ia ditarik oleh beberapa mahluk kecil itu untuk bergabung dalam
tarian dan nyanyian kota yang mengelukan namanya. Richard tidak berdaya. Ia
berlari dan menari bersama para botol manci. Iringan musik makin meriah. Semua
orang kerdil ini bergembira karena Richard menjadi bagian dari mereka. Meski
begitu ia dapat menangkap suara sayup=sayup orang memanggul namanya.
“Richaaaaaaaaaaaaaaarrdd.......!!
Richaaaaaaaaaaaaaaaarrdd!!
Richaaaaaaaaaaaaarrrrdd.........!!
@@@@@
Di kampung hujan sudah reda.
Penduduk desa masih berkeliling hutan di belakang gubuk mencari Richard yang
hilang. Ibu Richard menangis sepanjang hari, memegangi sepatu dan kaos kaki
anaknya yang tertinggal di gubuk. Orang-orang desa masih mencari Richard sambil
memanggil namanya. Mereka membawa obor untuk menerangi hutan yang semakin gelap
saat senja turun. Penduduk membunyikan benda-benda seperti kaleng, bambu kayu
dan apa saja yang dapat menimbulkan suara berisik.
“Richaaaaaaaaaaaaarrrdd.........pulaaaaaaaaaaannng.
Richaaaaaaaaaaaaarrrddd....!” Suara penduduk mulai terdengar melemah.