Senin, 24 Desember 2012

Botol Manci (2)



Richard berdiri diam pada tempatnya. Bingung. Antara rasa ingin tahu dan takut, ia melihat lelaki yang masih muda tapi berkumis yang ada di bawah daun cendawan.
“Aku Weltko,” sang pria kecil berkata.
“Aku Richard.”
“Richard, hujan di sini lebat. Kamu tidak akan pernah sampai ke sekolah.”
“Tapi aku harus masuk sekolah. Hari ini ulangan.”
“Jika kamu mengikuti jalanku. Kamu dapat sampai ke sekolah tanpa basah.”
“Jalan kamu?’
“Ya....mari ikut.
Laki-laki kecil itu berlari di pematang menuju hutan di belakang gubuk. Richard mengikutinya. Hanya beberapa langkah saat memasuki hutan, hujan berhenti. Tidak ada rintik air. Tidak ada kilat. Tidak ada petir. Hanya sinar matahari yang menembus pepohonan lebat.

Weltko berlari menuruni lembah. Richard mengikutinya. Dari belakang terdengar suara riuh orang tertawa gembira. Richard berbalik. Ratusan orang kerdil serupa Weltko berlari di belakangnya sambil tertawa. Rasa takut mulai menjangkitinya. Weltko yang semula dekat kini makin jauh di depan. Jalanan semakin menurun dan terjal.

Sebuah kota kecil nan megah nampak bersinar dibasuh cahaya. Dari dalam sana terdengar sorak sorak orang bernyanyi dan menari. Semakin dekat dengan kota, Richard mendengar suara yang mengelukan namanya. Richard! Richard!Richard!...Huraaaaaaaa..!!!!Huraaa....”

Sekarang Richard tahu, inilah negeri botol manci yang diceritakan orang desa. Negeri dimana tidak ada hujan dan angin badai. Negeri dimana hanya ada kesegaran, kebugaran dan hidup abadi. Botol Manci hidup abadi. Usia mereka dapat mencapai paling kurang tiga ratus tahun. Apabila ada anggota masyarakat mereka yang dihukum dalam kematian di lautan Elulaku, mereka harus mencari pengganti masyarakat yang hilang dari antara manusia.

Tidak jelas mengapa seorang manusia dipilih  sebagai pengganti warga mereka, tetapi semua yang datang ke negeri mereka tidak pernah kembali. Tidak ada  yang mampu menembus mantra mahluk bertubuh mungil ini. Tidak ada juga mahluk, manusia dan peri yang mampu memasuki atau keluar dari negeri mereka.

Richard berhenti di pintu kota botol manci. Sebuah sambutan dari para tetua suku terdengar bergerak maju menemuinya. Nyanyian paling merdu yang pernah di dengarnya. Nyanyian yang mendayu dan melengking tinggi. Syair lagu berisi bahasa yang belum pernah didengarnya.
Rasa rindu pada lagu nan indah kini bertukar menjadi kengerian. Kengerian ketika kakinya terasa memendek dan tubuhnya susut perlahan. Richard kehilangan tinggi badannya. Tubuhnya menyusut. Terus mengecil. Hingga akhirnya ia seukuran dengan para botol manci.

Ketika tubuhnya benar-benar telah mengecil, ia ditarik oleh beberapa mahluk kecil itu untuk bergabung dalam tarian dan nyanyian kota yang mengelukan namanya. Richard tidak berdaya. Ia berlari dan menari bersama para botol manci. Iringan musik makin meriah. Semua orang kerdil ini bergembira karena Richard menjadi bagian dari mereka. Meski begitu ia dapat menangkap suara sayup=sayup orang memanggul namanya. “Richaaaaaaaaaaaaaaarrdd.......!!
Richaaaaaaaaaaaaaaaarrdd!! Richaaaaaaaaaaaaarrrrdd.........!!




@@@@@

Di kampung hujan sudah reda. Penduduk desa masih berkeliling hutan di belakang gubuk mencari Richard yang hilang. Ibu Richard menangis sepanjang hari, memegangi sepatu dan kaos kaki anaknya yang tertinggal di gubuk. Orang-orang desa masih mencari Richard sambil memanggil namanya. Mereka membawa obor untuk menerangi hutan yang semakin gelap saat senja turun. Penduduk membunyikan benda-benda seperti kaleng, bambu kayu dan apa saja yang dapat menimbulkan suara berisik. “Richaaaaaaaaaaaaarrrdd.........pulaaaaaaaaaaannng. Richaaaaaaaaaaaaarrrddd....!” Suara penduduk mulai terdengar melemah.

Minggu, 23 Desember 2012

Botol Manci (1)



Botol Manci adalah manusia sebesar penisilin. Mereka hidup di dunia mereka yang berhimpitan dengan dunia manusia. Terkadang, jika ada patahan waktu, dunia mereka dan dunia manusia bersatu. Saat itulah Botol Manci bisa dilihat dengan mata telanjang. Selebihnya, manusia tidak dapat melihat mereka.

Pagi itu hujan deras. Guntur dan kilat menyambar. Pepohonan terseok-seok karena hujan dan angin. Richard, murid kelas lima sekolah dasar, berlari memegang daun pisang yang sudah tidak lagi berbentuk karena terpaan angin. Sekujur tubuhnya basah kuyub. Tapi ia terus berlari. Asalkan mendapat tempat berteduh dekat sekolah, itu sudah cukup. Begitu pikirnya. Ia tidak peduli seragamnya yang basah. Ia hanya khawatir buku sekolahnya. Tadi sudah dibungkus dengan kantong plastik. Tapi entah kini. Mungkin kantong plastik juga sudah ditembus hujan.

Sebuah gubuk nampak di depan. Richard segera berlari masuk. Lumayan. Buat berteduh sebentar. Sekolah masuk pukul setengah delapan. Mungkin sekarang masih jam tujuh. Entahlah. Matahari tak tampak di langit. Gelap dimana-mana. Jiika ada cahaya, itu datang dari pijar halilintar di langit.

Richard membuang daun pisang yang sudah sobek. Seluruh badannya basah kuyup. Dibukanya tas sekolah. Beruntung. Air tidak menembusi kantong plastik. Ia melihat ke arah jalan raya. Kabur. Yang nampak hanya hujan. Sepatunya di lepas. Juga kaos kaki. “Aku akan tetap ke sekolah,” guman Richard.

“Hei! Hei!, suara hardikan terdengar.
Richard menoleh sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.
“Hei! Kamu! Aku disini.....Hei!”
Richard melihat ke sudut gubuk, tempat darimana suara itu berasal. Ia terkejut. Seorang lelaki muda bertopi runcing sedang berada di bawah daun cendawan. Rasa takut menghinggapi Richard. Inikah Botol Manci yang sering diceritakan orang?